Menjadi Pengajar di Tanah Papua
Hari Pendidikan Nasional baru
saja kita peringati, walau mungkin sudah banyak yang lupa. Saya bukan seorang pendidik atau seseorang
yang punya andil dalam dunia pendidikan.
Tapi saya pernah merasakan suka duka dunia itu. Basic pendidikan saya bukan kependidikan,
bahkan kuliahkupun sekarang ini tidak ada hubungan dengan dunia pendidikan,
tapi sekali lagi saya pernah merasakannya.
Menjadi Guru Mata Pelajaran Teknik
Sekitar lima tahun lalu,
seperti tahun-tahun sebelumnya, saya
dikontrak sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang perencanaan tata
ruang. Kebetulan juga waktu itu saya
aktif di kegiatan BKPRMI . Hampir lupa
menyebutkan lokasinya, berlokasi di Kota Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen
Provinsi Papua. Beberapa teman sesama
anggota BKPRMI berprofesi sebagai guru.
Salah satu dari mereka menawarkan pada saya untuk mengajar di sebuah SMK
Teknologi yang masih baru, sebelumnya SMK Akuntansi dan Penjualan. Sekolah itu
membutuhkan tenaga pengajar di bidang teknik gambar dan teknik
konstruksi kayu. Rupanya mereka belum
berhasil mendapatkan tenaga pengajar yang benar-benar sesuai dengan jurusan
yang ada. Tapi saat ditawarkan ke saya,
tanpa pikir panjang dan karena saya memang suka melakukan hal-hal baru, saya terima
tawaran itu (walaupun setelah beberapa saat kemudian saya kebingungan sendiri,
bagaimana nanti saya mengajar, kan saya tidak ada basic kependidikan,
aduh...tapi tanggung, saya harus mencoba, pasti bisa!)
Ternyata tenaga pengajar mata
pelajaran teknik yang ada hanya saya.
Sebenarnya tercatat dua nama guru teknik, tapi yang satunya itu hanya
sekedar nama saja, karena orangnya tidak pernah muncul. Dan jadilah saya satu-satunya guru teknik di
sekolah itu. Bayangkan, saya harus
mengajar di dua kelas (tahun ajaran pertama untuk jurusan teknik baru ada dua
kelas : jurusan teknik gambar dan jurusan teknik konstruksi kayu) dengan
beberapa mata pelajaran dasar teknik.
Saya benar-benar kewalahan, tapi situasi itu tidak membuatku
menyerah. Untunglah waktu kuliah S1 kan
belajar dasar-dasar teknik, tidak jauh beda dengan pelajaran SMK
teknologi. Selebihnya, untuk mata
pelajaran yang tidak pernah kudapatkan, saya harus kerja keras, benar-benar
sebuah tantangan (tapi saya senang).
Bagiku ini kesempatan belajar hal-hal baru. Saat itu strategi yang saya tempuh adalah
dengan belajar (mau belajar teknik gambar dan perkayuan), tentunya saya aktif belajar
pada teman-teman yang basicnya teknik arsitektur dan sipil, kebetulan juga saya
sedikit bisa menjalankan program Autocad.
Benar-benar perjuangan rasanya waktu itu, saya harus berusaha mengatur
waktu dengan baik, karena saya juga harus menyelesaikan pekerjaan lain.
Pekerjaan Yang Melelahkan
Sebenarnya menjadi pengajar
disekolah baru itu, cukup melelahkan bagi saya, apalagi saya memegang semua
mata pelajaran jurusan. Saya sudah
mencoba menawarkan kepada temen-teman seprofesi untuk mau mengajar di SMK itu,
tapi sayang mereka kurang tertarik dengan
honor yang kecil. Bagi mereka,
tidak sepadan antara pekerjaan dan honor yang bisa diterima. Saya maklum, teman-teman terbiasa dengan
proyek-proyek yang nilainya besar, sehingga bagi mereka mengajar di SMK itu
nilainya kecil. Kadangkala disaat lelah
ingin rasanya saya menangis, tapi saya juga tidak tega untuk berhenti mengajar
disekolah itu, saya merasa sangat dibutuhkan oleh sekolah itu, rasanya masih
syukur ada saya yang mau mengajar.
Sesekali saya teringat masa-masa sekolah dulu, teringat perjuangan
guru-guruku dulu, walau mungkin lingkungannya beda. Menjadi tenaga pengajar di Papua sangat beda
kondisinya dengan wilayah di luar Papua. Butuh kesabaran tinggi menjadi
pengajar di sekolah Papua, sulit menjelaskan disini seperti apa kesulitan yang
harus kami hadapi, jelasnya sangat beda dengan di luar Papua. Tapi
sekali lagi saya tidak mau menyerah, saya menjalin komunikasi yang baik dengan
guru-guru mata pelajaran lainnya, saya banyak belajar bagaimana menjadi
pengajar dari rekan-rekan guru itu, mereka juga mendukungku dan selalu
menyemangati.
Yayasan Organisasi Muslim
SMK tempatku mengajar itu milik
sebuah yayasan muslim yang cukup besar,
nama sekolahnya saja menggunakan nama organisasi itu. Meskipun menggunakan atribut muslim, tapi
hampir 80 % siswanya non muslim, dan mayoritas adalah anak-anak asli
Papua. Gedung sekolah masih menumpang
milik SMP pada yayasan yang sama, jadwal
sekolahnyapun masuk siang. Sebagian
besar tenaga pengajar saat itu masih berstatus honorer. Luar biasa dedikasi mereka terhadap
pendidikan, tidak sebanding dengan kecilnya honor setiap bulan yang mereka bisa
terima, itupun kadang telat, tergantung kondisi keuangan sekolah. Untunglah guru-guru tersebut memiliki
pekerjaan utama yang lain, ada yang PNS di Instansi Pemerintah, karyawan
perusahaan swasta, dan beberapa juga masih guru honorer di sekolah lain.
Sarana pendukung belajar dan mengajar di sekolah itu minim. Di tahun pertama, komputer untuk praktik
siswa saja tidak ada, sehingga mereka hanya bisa belajar menggambar manual,
itupun dengan perlengkapan seadanya, karena sekolah hanya memiliki tiga meja
gambar (itupun sumbangan donatur).
Barulah pada tahun kedua sekolah kami mendapatkan bantuan beberapa unit
komputer. Agar cukup digunakan praktik
siswa, ruang praktik komputer masih disatukan dengan milik SMP se-yayasan itu, kebetulan sebelumnya SMP itu
sudah lebih dahulu mendapatkan bantuan perangkat komputer.
Anak-anak Papua Dari Kampung Yang Jauh
Anak-anak asli Papua yang belajar
di sekolah-ku itu sebagian besar berasal dari kampung-kampung yang berada di
Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen, termasuk yang berasal dari Kabupaten tetangga
yaitu Kabupaten Waropen, bahkan dari kampung-kampung kecil yang terpencil di
pulau. Sering terjadi beberapa siswa tidak masuk sekolah hingga beberapa hari,
bahkan ada yang muncul di sekolah hanya beberapa kali (pada saat pendaftaran,
ujian semester dan saat penerimaan raport).
Untuk masalah satu ini sudah umum terjadi disekolah-sekolah swasta yang
ada di wilayah itu, bahkan mungkin di Papua pada
umumnya. Biasanya setelah libur akhir
pekan pertama di setiap semester, anak-anak itu mulai jarang masuk sekolah,
hingga akhirnya tidak pernah muncul di sekolah sampai waktu mendekati jadwal ujian
semester. Selain jarak kampung mereka
yang jauh dari kota, penyebab yang lain adalah kondisi keluarga dan lingkungan
mereka di kampung. Mereka yang sebagian
besar adalah anak-anak petani dan nelayan kecil, harus membantu keluarga
mencari nafkah. Mungkin juga karena
motivasi belajar yang kurang dari lingkungan tempat tinggal mereka di kampung.
Sungguh, hal itu memusingkan
guru-guru, bagaimana tidak, setelah lama tidak kesekolah (tanpa laporan sakit
atau ijin) tiba-tiba muncul di saat ujian semester. Terang saja nilai raportnya jelek-jelek. Dilema bagi kami para staf pengajar, saat
anak-anak itu diputuskan tidak naik ke kelas berikutnya, giliran orang tuanya datang dari
kampung. Ada yang datang meminta dengan
memelas (minta anaknya bisa naik kelas),
ada pula yang datang setengah mengamuk, marah. Diberi pengertian, malah berargumen panjang
sambil berjanji akan mengarahkan anaknya untuk belajar lebih rajin dan tekun
(tahun berikutnya tetap saja berulang hal yang sama). Pokoknya berbagai usaha para orang tua itu
agar anaknya bisa naik kelas. Yah, dengan berbagai pertimbangan dewan guru
akhirnya memutuskan menaikkan beberapa siswa, kecuali mereka yang benar-benar
tidak bisa ditolerir lagi.
Kondisi keterlibatan orang tua
siswa hanya pada saat-saat mereka menginginkan anaknya naik kelas itu, ternyata
bukan hanya di tingkatan sekolah menengah, bahkan sudah dimulai dari sejak
sekolah dasar. (motivasi menyekolahkan
anak bukan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, tapi lebih kepada keinginan
mendapatkan gelar atau ijazah). Salah
satu indikasi yang biasa saya temui adalah beberapa siswa di sekolah kami itu
ketahuan tidak fasih menulis, membaca dan menghitung hingga ada pula yang tidak
bisa sama sekali. Itu tugas berat bagi
kami sebagai pendidik, yang bisa kami
lakukan adalah memberi bimbingan khusus pada mereka yang demikian, karena tidak
mungkin mengeluarkannya dari sekolah (wah, bisa timbul masalah baru bila
dikembalikan ke keluarganya).
Giat Mencari Tenaga Pengajar Baru
Satu semester yang berat itu
berhasil saya lalui, walau banyak kekurangan, namun saya senang bisa ikut
belajar banyak. Semester berikutnya saya
berkenalan dengan seorang teman yang berasal dari Jayapura, dia ikut suaminya
yang ditugaskan di Serui. Saat
kutawarkan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolahku, dia bersedia, akhirnya
saya ada teman yang bisa meringankan tugasku.
Dia juga tidak punya basic kependidikan, namun semuanya bisa teratasi
dengan kerjasama yang baik dengan kepala sekolah dan guru-guru yang lain.
Semester berikutnya, tepatnya di
tahun kedua saya mengajar di sekolah itu, saya bertemu lagi dengan seorang
teman yang sama-sama bekerja sebagai konsultan perencanaan teknik. Karena orang tuanya adalah juga pengurus
organisasi muslim yang sama dengan yayasan tempatku mengajar itu, saat
kutawari jadi tenaga pengajar, dia
bersedia.
Bertambahnya tenaga pengajar
jurusan teknik di SMK-ku itu, membawa kemajuan bagi sekolah. Kami bertiga dan tentunya bersama kepala
sekolah dan guru-guru yang lain saling bahu membahu, bekerjasama memajukan
sekolah, walau dengan segala keterbatasan yang ada. Meningkatnya prestasi belajar siswa adalah
obat dari segala lelah kami para guru. (Bersambung pada tulisan yang lain).
Kupersembahkan tulisan ini buat
teman-teman guru, kepala sekolah dan siswa-siswaku yang telah banyak
memotivasiku untuk selalu belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar