TERPINGGIRKANNYA
ARSITEKTUR LOKAL OLEH
KEDATANGAN SUKU
PENDATANG DI KOTA SERUI PAPUA
Udsy Ahmad
Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen Papua
Abstrak
Identitas suatu kota dapat dikenali bukan
hanya dari pakaian adat, lagu daerah ataupun tarian yang dimiliki. Saat pertama kali memasuki suatu kota, bentuk
maupun fasade bangunan akan memperlihatkan karakter dan budaya kota
tersebut. Kota Serui, sebuah kota kecil
di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, dihuni bukan hanya oleh orang Papua
sebagai penduduk asli, tapi juga dari berbagai suku bangsa dari luar
Papua. Percampuran berbagai asal suku
tersebut mempengaruhi wajah kota. Kota
Serui lebih tampak seperti kota-kota lain yang sedang membangun. Bangunan-bangunan baru bermunculan dengan
arsitektur modern. Di bagian lain kota terdapat sebuah komunitas suku pendatang
yang sangat menonjol, dapat dikenali dengan mudah lingkungannya hanya dengan
melihat arsitektur bangunan ibadahnya.
Sementara lingkungan yang masih mempertahankan ciri budaya setempat bertahan di pinggiran kota. Kenyataan itulah
yang menjadi fokus penelitian, dengan menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan metode fenomenologi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa
proses pembangunan di Kota Serui membuka peluang masuknya pendatang dengan
latar belakang budaya yang berbeda, dan kebebasan mengekspresikan
budayanya. Keterbukaan masyarakat dan
pemerintah kota bisa membawa kemajuan bagi pembangunan kota, tapi di sisi lain,
pemerintah kurang memberi perhatian pada upaya pelestarian identitas lokal
dalam pembangunan fisik kota. Sehingga
identitas lokal penduduk asli Papua seakan terpinggirkan dengan kehadiran suku
pendatang dari luar Papua. Penelitian sampai pada kesimpulan bahwa harus ada
peran pemerintah kota dalam mempertahankan dan menghidupkan kembali identitas
lokal yang dimiliki Kota Serui.
Kata kunci :
Identitas lokal, Papua, suku pendatang
I. Pendahuluan
Setiap
suku bangsa di dunia, termasuk yang ada di Indonesia memiliki arsitektur lokal,
yang menjadi salah satu ciri dan keunikan suku tersebut. Memasuki suatu wilayah, kota atau
perkampungan, ciri kesukuan penduduknya
tergambar dari bentuk arsitekturnya, terutama bangunan. Namun ada pula beberapa daerah yang nyaris
tak dapat dikenali lagi arsitektur lokalnya, hanya ada gapura yang menjadi
pintu gerbang berhiaskan symbol-simbol dan ornament-ornamen tradisional yang
masih bisa dijadikan acuan mengenali suku yang dominan mendiami daerah itu.
Daerah-daerah
yang sedang membangun mau tidak mau harus membuka ruang interaksi dengan daerah
lain, suku lain bahkan dengan Negara lain.
Interaksi membuka peluang terjadinya transformasi budaya, entah itu akan
menyebabkan akulturasi, ada yang mendominasi atau bahkan meminggirkan ciri
lokalitas setempat. Yang paling mudah
terlihat sebagai hasil interaksi tersebut adalah bentuk bangunan.
Akan
halnya di Papua, proses akulturasi telah terjadi sejak zaman penjajahan
Belanda, dan berlanjut pasca penyatuan dengan NKRI sampai sekarang. Beberapa
kota di Papua tercipta menjadi miniature nusantara. Demikian halnya Serui, salah satu kota kecil
di Papua. Kehadiran berbagai suku lain, dengan mudah dapat dikenali, dan
tergambar dari arsitektur bangunan-bangunan yang ada, rumah tinggal, rumah
ibadah dan bangunan kantor, berdampingan dengan bangunan-bangunan berarsitektur
modern. Arsitektur lokalnya sulit dikenali, kecuali bangunan tugu perjuangan,
dan ornament yang menghiasi pagar, gapura dan dinding beberapa bangunan. Padahal bila ditelaah, Serui juga memiliki
cirri arsitektur yang didasari
nilai-nilai budaya dan kearifan local, sebagaimana lokasi lain di Papua.
Tidak
ada yang salah dengan kehadiran berbagai suku pendatang di Serui yang
masing-masing berusaha menonjolkan diri lewat arsitektur asal sukunya. Namun bagaimana dengan arsitektur khas local
yang dimiliki Serui, akankah dibiarkan memudar seiring dengan gerak pembangunan
daerahnya, atau justru akan mengangkat kembali nilai-nilai lokalitas yang
dimiliki dalam pembangunan kotanya.
II. Tinjauan Literatur dan Konsep
Menurut
Juwono dalam Antariksa (2009), identitas keruangan adalah salah satu kekayaan
sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial
budaya lingkungannya. Perhatian terhadap
potensi lokal arsitektur kawasan sebagai daya tarik serta keunggulan kota menjadi
penyeimbang sinergi globalisasi lokal (Eade dalam Antariksa, 2009). Kekuatan dari kearifan local tersebut berupa
nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki
signifikasi dan keunikan. Kenyataan
kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi
kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global (Antariksa, 2009).
Identitas
local menjadi potensi local yang dimiliki oleh suatu kota atau tempat. Potensi
yang tidak terbatas pada arsitektur tradisional saja. Dalam masyarakat yang
heterogen, potensi local mencakup seluruh kekayaan yang memiliki kekhasan,
keunikan, kesejarahan ataupun peran sebagai penanda di kawasan, kota dan daerahnya
(Rusmanto, 2007).
“Arsitektur”
adalah salah satu wujud hasil karya seni budaya. Keterkaitan hubungan antara
kebudayaan suatu bangsa dengan arsitektur, tergambar pada telaahan masing
–masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur – unsur ”konsep”,
cara “membangun” dan “wujud nyata” dari “bangunan” sebagai
suatu lingkungan buatan dalam rekayasa lingkungan sekitarnya. Telaahan “kebudayaan”
selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran “idea”, perbuatan, sikap
dan perilaku “behavior” serta hasil karya seni “artefak”.
Arsitektur sebagai hasil karya seni
budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan
dari kehidupan manusianya, dari masa ke
masa. Arsitektur sebagai
unsur kebudayaan, laksana salah satu bentuk bahasa “non-verbal” manusia
yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi manusia secara “non
verbal” yang mempunyai nuansa sastrawi. Tidak jauh berbeda dengan sastra
verbal yang metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana
metafor keindahan, dari sudut pandang itu akan dikenali karakteristiknya
(Syahriartato, 2009).
Arsitektur
tradisional (Susanto dalam Sahroni, 2012) sangat lekat dengan tradisi yang
masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku
yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum. Arsitektur
tradisional kemudian berkembang sebagai arsitektur vernakuler, yang tetap
mempertahankan karakter inti yang diturunkan dari generasi ke generasi yang
menjadikannya sebagai karakter kuat akan suatu tempat tertentu dan akan
tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan masyarakat tersebut. Frick (1996)
menyatakan hal yang sama bahwa arsitektur tradisional dapat diartikan sebagai
suatu arsitektur yang diciptakan/dilakukan dengan cara yang senantiasa sama
sejak beberapa generasi. Arsitektur
tradisional memperlihatkan hubungan manusia dengan sejarahnya dalam bidang
bangunan dan pemukiman.
Salah
satu suku di Indonesia yang terkenal memiliki gaya arsitektur tradisional yang
khas, adalah Papua. Beberapa bentuk arsitektur
tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran orang papua
seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros tobati, rumah
tradisional arfak, Rumsram di Biak dan sekitarnya dan rumah tradisional harit
di maybrat imian sawiat Kabupaten Sorong Selatan (Sagrim, 2009).
Lebih lanjut Sagrim menyatakan
bahwa, setiap suku di Papua mempunyai aliran
atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika
dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat
(terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Perkembangan
konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampingkan gaya arsitektur
tradisional lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran
nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
sehingga arsitektur tradisional menjadi terlupakan adalah:
- pengaruh aliran arsitektur luar
dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen.
- keinginan pemilik bangunan
rumah yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain.
- pemerintah setempat tidak fasih
dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan
lokal, sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan.
- tenaga perancang dan ahli-ahli
arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur tradisional
untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur lokal tetap
tersembunyi/hanya dalam bayang-bayang tradisional saja.
III. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif (descriptive research),
dengan memberikan gambaran dari fenomena yang terjadi di Kota Serui dalam
kaitannya dengan arsitektur local.
Karena mengungkapkan fenomena yang terjadi, maka dapat pula disebut
menggunakan metode fenomenologi. Data
diperoleh dari pengalaman dan pengamatan peneliti selama tinggal di lokasi
penelitian. Dilanjutkan dengan mengkaji
literature yang berkaitan dengan fokus dan lokasi penelitian.
Penelitian ini masih berupa
deskripsi fenomena yang terjadi, olehnya masih dibutuhkan teknik penelitian yang
lebih mendalam mengenai kondisi arsitektur lokal di Kota Serui Papua.
IV. Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Wilayah Kota Serui
Kota Serui merupakan ibukota
Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Kota ini tepatnya berada dalam
wilayah Distrik Yapen Selatan. Wilayah
Kota Serui meliputi empat Kelurahan di Distrik Yapen Selatan, yaitu Kelurahan
Anotaurei, Serui Kota, Serui Jaya dan Tarau.
Tapi penggunaan istilah Serui lebih sering digunakan untuk menyebut
wilayah Distrik Yapen Selatan, bahkan kadang digunakan untuk menyebut wilayah
Kabupaten Yapen. Kota Serui terletak di
bagian pesisir Pulau Yapen, berhadapan dengan Selat Saireri.
Baik penduduk asli Papua dan pendatang (non-Papua), pola
pemukiman-nya mengikuti struktur ekonomi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Adapun struktur ekonomi di
Distrik Yapen Selatan adalah pedagang, perkebunan, pertanian tanaman pangan, dan
nelayan tangkap. Untuk mata pencaharian
yang bertumpu pada perdagangan, dan pertanian tanaman pangan, pemukiman warga
umumnya berada di daratan. Adapun
kampung/kelurahan yang masuk kategori pemukiman yang berada di daratan adalah
Mantembu, Mariadei, Banawa, Warari, Turu, Pasir Putih, Yapan, Famboaman,
Anotaurei, Tarau, Serui Kota, dan Serui Jaya.
Masyarakat yang mata pencaharian pokoknya
sebagai nelayan tangkap, pemukimannya berada di pesisir laut. Ini dengan mudah dilihat pada Kampung Serui
Laut dan Pasir Hitam. Selanjutnya
perekat sosial (social cohesion)
masyarakat adalah ikatan kekerabatan atau marga. Kohesi sosial dalam bentuk ikatan kekerabatan
atau marga dapat dilihat dari aktivitas warga
berdasarkan etnik masing-masing. Ikatan sosial inilah yang kemudian
membentuk jaringan sosial dalam konteksnya.
Tabel 1
Jenis Pekerjaan Penduduk di Distrik Yapen Selatan
No
|
Jenis Mata Pencaharian
|
% Jumlah
|
1
|
Petani
|
3.54
|
2
|
Nelayan
|
1.8
|
3
|
Pedagang
|
36.49
|
4
|
Pengrajin
|
0.47
|
5
|
Peternak
|
0.54
|
6
|
Pegawai Negeri Sipil
|
17.91
|
7
|
Swasta
|
7.07
|
8
|
Pensiunan
|
4.3
|
9
|
Lain-lain
|
27.89
|
|
Total
|
100.01
|
Sumber: RTRW Kab. Kepulauan Yapen, 2011
Untuk aspek ekonomi, secara umum jenis pekerjaan yang
tersedia, meliputi: petani, nelayan, pedagang, pengrajin, peternak, PNS,
swasta, pensiunan, dan lain-lain. Dari jenis pekerjaan tersebut, mata
pencaharian sebagai pedagang merupakan lapangan usaha mayoritas yang diusahakan
oleh warga yaitu 36,49%, disusul lain-lain (seperti: ojek, kuli pelabuhan,
buruh bangunan) sebanyak 6.442 orang (27,89%) dan PNS sebanyak 17,91%.
2. Penduduk Kota Serui
Penduduk yang bermukim di
Serui terdiri dari penduduk asli Papua dan penduduk pendatang. Penduduk asli Papua di Serui meliputi suku
Onate, yang merupakan suku terbesar yang mendiami kepulauan Yapen, dan beberapa
suku Papua lainnya yang berasal dari wilayah sekitarnya. Yang merupakan penduduk pendatang adalah
penduduk dari suku lain di Indonesia di luar Papua. Antara lain suku pendatang
tersebut adalah, Bugis, Makassar, Buton, Toraja, Manado, Jawa, Sunda, Minang,
Batak, Ambon dan Kei. Bahkan jauh
sebelum kehadiran suku-suku pendatang tersebut, pedagang dari Tiongkok telah
lebih dulu tiba di Kepulauan Yapen dan telah menjadi bagian dari sejarah
kehidupan penduduknya. Penduduk
keturunan hasil perkawinan dari orang Tiongkok dan penduduk asli tersebut
sampai sekarang dapat dikenali dengan mudah, mereka dikenal dengan sebutan
“Perancis”, dengan ciri khas fisiknya berupa kulit yang cenderung lebih terang,
walaupun berambut keriting. Agama mayoritas yang dianut penduduk Kota Serui adalah Kristen Protestan, sesuai
dengan agama yang dibawa oleh para misionaris Protestan dari Eropa, termasuk
dari Negara Belanda yang pernah menjajah wilayah Papua bagian Utara.
3. Sejarah Arsitektur Tradisional
Perkembangan arsitektur
tradisional di Kabupaten Kepulauan Yapen, khususnya di Kota Serui, belum diketahui secara pasti karena kurangnya
literature yang membahas hal tersebut.
Berbicara tentang Papua, orang di luar Papua lebih mengenal Suku-suku
besar yang mendiami daratan besar Pulau papua, seperti, Sorong, Manokwari,
Nabire, Wamena, Dani, dan Asmat.
Pengetahuan tersebut termasuk budaya bermukim dan seni arsitektur yang
dimiliki. Hal tersebut dimungkinkan oleh masih utuhnya keunikan arsitektur
pemukiman suku-suku tersebut. Misalnya yang sangat dikenal, adalah pemukiman
Suku Dani dengan bentuk bangunan honai-nya, Suku Asmat yang dikenal dengan seni
ukirannya yang sangat kreatif.
Keunikan dan kekhasan
suku-suku yang ada di Papua, tidak lepas dari kondisi alam yang
dimilikinya. Wilayah alam Papua dapat
dikelompokkan dalam 4 zona ekologis, yaitu :
a.
Zona
rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai; meliputi daerah Asmat, jagai,
Marind-anim, Mimika dan Waropen.
b.
Zona dataran tinggi; meliputi Suku Dani,
Ngalun dan Ekari/Mee.
c.
Zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil;
melliputi daerah Sentani, Nimboran, Ayamaru dan Muyu
d.
Zona dataran rendah dan pesisir; meliputi
daerah Sorong sampai Nabire, Biak dan Yapen.
Diantara
keempat tipologi zona itu, penduduk yang mendiami zona dataran rendah dan
pesisir lebih dulu mengenal dan menjalin komunikasi dengan masyarakat luar.
Interaksi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Keterbukaan itu sudah dimulai sejak abad ke-7
melalui pedagang Persia dan India, dan pada abad ke-9 dengan Cina. Pengaruh
Islam masuk pada abad ke-15 setelah Papua menjadi wilayah kekuasaan politik
Kesultanan Tidore. Bersamaan dengan itu,
bangsa barat mulai menyentuh tanah Papua melalui misi penyebaran Agama Kristen.
Arus migrasi suku lain dari wilayah Indonesia mulai masuk papua pada tahun
1966, saat pemerintah mengirimkan 164 transmigran asal Jawa ke Merauke. Bersamaan dengan itu, juga datang para pedagang dari Bugis,
disusul suku-suku lain yang lebih maju dalam bidang pendidikan dan berproduksi.
Kenyataan
di atas tentunya turut mewarnai bentuk arsitektur pemukiman di Kota Serui. Letak Kepulauan Yapen yang berdekatan dengan
Pulau Biak, memungkinkan adanya kemiripan bentuk arsitektur bangunan masyarakat
pesisir Yapen dan Biak.
Kedatangan pemerintah Hindia Belanda
lebih awal membangun papua termasuk Kota Serui, dengan menerapkan aliran
arsitektur kolonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung
atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan
sebagai rumah hunian masyarakat. Di kabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1950, secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang
dibangun oleh orang Maybrat Imian Sawiat sebagai bangunan terhormat seperti
rumah sekolah dan gereja, dengan menerapkan larangan-larangan untuk tidak
mengembangkan atau membangu bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat
orang maybrat imian sawiat kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka.
Dari tahun 1962, pemerintahan Indonesia yang telah masuk kewilayah Papua, juga
menerapkan bangunan yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Di
kota Serui kini aliran arsitektur dari daerah lain yang mendominasi.
4. Kebijakan Penataan Ruang Kota Serui
Penataan
ruang Kota Serui selama ini tidak mengakomodir upaya pelestarian atau upaya
mengangkat kembali arsitektur lokal.
Bahkan yang pernah terjadi di jaman orde baru di salah satu perkampungan nelayan, pemukiman
penduduk di atas air dibongkar paksa.
Mereka kemudian diarahkan untuk menghuni pemukiman-pemukiman sosial yang
dibangun seragam oleh pemerintah. Alasannya semata mengejar kepentingan
ekonomi, penduduk kampung diberi bibit kakao dan kopi untuk ditanam di tanah
ulayat mereka, penduduk yang sebelumnya hidup sebagai nelayan dan peramu
sagu. Sekarang penduduk kampung itu
kembali menjadi nelayan, memulai lagi kehidupan pemukiman di atas air.
Sementara itu, wajah Kota
Serui tidak beda dengan kota-kota niaga lainnya di Indonesia, barisan ruko
menghiasi beberapa jalan utama di kota itu, dan pemiliknya adalah suku-suku
lain yang senang berdagang. Dengan mudah
di setiap jalan, gang dan lorong ditemui kios-kios, dan pemiliknya bukan orang
Papua.
Gereja-gereja di Serui
dibangun berarsitektur eropa, sebagaimana yang pernah diperkenalkan oleh Bangsa
Belanda. Di pemukiman yang didominasi orang-orang Toraja, gereja dibangun
menyerupai “Tongkonan” di Tanah Toraja. Bagian atap masjid dibuat menyerupai
atap bangunan rumah Jawa. Kantor-kantor
dibangun menyerupai rumah tinggal berbentuk kotak, atau seperti perkantoran
modern di kota-kota besar.
5. Upaya Menghidupkan Kembali Karakter
Lokal
Semangat
pembangunan di Serui yang ditunjukkan adalah semangat egoisme membangun, egoisme
kesukuan. Masing-masing individu lebih memikirkan untuk menonjolkan kebesaran
daerah asalnya atau minatnya terhadap arsitektur asing.
Persoalannya bukanlah terletak pada
kurangnya tenaga-tenaga arsitektur Papua, tetapi keinginan daripada pemilik
yang menginginkan gaya arsitektur lain.
Bagi orang Papua, termasuk orang
Serui, rumah tinggal harus besar terutama pada bagian dapur sebab para tetangga
dan kaum kerabat suka duduk bercerita sambil makan di dapur, anak-anak
tetanggapun suka datang berkumpul untuk makan papeda. Di halaman dilengkapi
dengan para-para, untuk tempat duduk-sambil makan atau bercengkerama setelah
selesai makan. Rumah adalah tempat berkumpul dan bercengkerama dengan
kerabat. Bagian belakang rumah-rumah di
pesisir pantai digunakan untuk tambatan perahu.
Bangunan arsitektur Serui
dikembangkan oleh para orang-orang terdahulu memanfaatkan bahan bangunan dari
alam disekitarnya. Ketahanannya teruji
menghadapi kondisi alam Serui. Sayangnya
bentuk arsitektur tradisional tersebut hanya dapat ditemui di daerah pinggiran
pesisir pantai, itupun mulai disisipi bangunan dengan bentuk modern.
Tidak ada regulasi yang
dibuat pemda untuk menjaga kelestarian arsitektur tradisional Papua di Serui.
Pernah sekali Pemda mendesain perkampungan nelayan dengan menonjolkan
arsitektur tradisional tersebut dalam kebijakan yang disebut Respek (rencana
strategis pembangunan kampung), tapi itu tidak terlaksana. Kantor Pemda
sekarang memiliki pagar dengan ornament tifa.
Gapura-gapura pelabuhan dan Bandar udara juga menggunakan ornament khas
Papua.
Pemda Kepulauan Yapen harus
bisa melihat kondisi tergerusnya karakter lokal yang dulu dimiliki Kota
Serui. Langkah yang harus diambil adalah
mengharuskan setiap kegiatan pembangunan untuk mengakomodir arsitektur lokal
atau menonjolkan karakter lokal dalam setiap perencanaan pembangunan kota.
Pembangunan harus berdasarkan pada nilai-nilai
kearifan lokal yang ada atau pernah ada di Serui.
V. Kesimpulan
-
Kota Serui terletak di wilayah pesisir
Kepulauan Yapen, yang memungkinkan terjadinya interaksi dan masuknya budaya
dari luar.
-
Migrasi telah lama berlangsung di Kota Serui,mereka
datang dari berbagai suku yang ada di Indonesia. Para pendatang itu membawa
serta pula budaya suku mereka termasuk seni bangunannya.
-
Arsitektur lokal Serui hanya dapat ditemui di
pesisir wilayah kota. Penduduk kota
lebih senang menggunakan arsitektur modern
-
Pemda Kabupaten Kepulauan Yapen harus membuat
regulasi untuk menghidupkan kembali dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembangunan
kota Serui.
DaftarPustaka
Antariksa.
Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan.
Frick,
Heinz. 1996. The effect of urban
pattern on ecosystem function. International Regional Science Review, Vol.
28, (2).
Roesmanto,
Totok. Pemanfaatan Potensi Lokal Dalam Arsitektur Indonesia (Pidato
Pengukuhan). Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang 2007.