Sabtu, 22 November 2014

Kakak Ros Dari Sarawandori

KISAH KAKAK ROS DARI KAMPUNG SARAWANDORI




Kampung Sarawandori…meidori.  Terletak dalam teluk yang senantiasa teduh, penduduknya menyebut suasana tersebut meidori, yang berarti teduh, tenang dan aman.  Begitu gambaran singkat sebuah kampung di pesisir Kabupaten kepulauan Yapen.  Tak terkira indahnya alam di sekitar kampung.  Bukit-bukit karang terjal memagari permukiman, dan dibalik bukit karang tersebut terhampar telaga yang mempesona, yang langsung terhubung dengan laut.  Tiada henti saya mengagumi keindahan kampong Sarawandori, yang senantiasa menggodaku untuk selalu berkunjung. Masuk ke permukiman, disambut suasana kampung yang sederhana dan bersahaja.  Sapaan ramah dan tulus dari warga yang sempat berpapasan di jalan, akan membuat betah dan rasa ingin tau lebih banyak tentang kampung pesisir yang dihuni oleh warga yang mengaku sebagai orang gunung.  Sepintas kampong Sarawandori tidak beda dengan kampong-kampung lain di pesisir Kepulauan Yapen.  Beberapa rumah berlabuh dengan warna dinding kusam masih berjejer diantara rumah-rumah darat yang berkonstruksi batu.  Rasanya cukup sampai disini saya gambarkan tentang suasana kampung.


Kampung Sarawandori, di kala sore hari

Suasana sibuk terlihat di salah satu rumah berlabuh,  Sekelompok perempuan sibuk di bagian belakang rumah. Rupanya mereka sedang membuat mi dari bahan rumput laut. 



                             Kakak Ros Menyiapkan Pesanan Mie dan Stik Rumput Laut



Membuat Adonan Stik Rumput Laut

Adalah Kakak Ros, begitu dia biasa dipanggil, ketua kelompok pengolahan rumput laut di Kampung Sarawandori, bercerita panjang lebar tentang usaha mereka:
“jadi awalnya kita di kampong tahun 2006, rumput laut didatangkan dari Takalar, Makassar. Tiba di dinas perikanan serui, kemudian dibawa ke Sarawandori untuk dibudidayakan, Bapak Karubaba yang pelopori budidaya. Tahun 2007 panen perdana dihadiri menteri perikanan dan kelautan waktu itu.  Tim yang datang bersama bapak menteri kemudian memberi pelatihan pengolahan rumput laut.  Tahun 2007-2008, kami mulai berjualan pudding rumput laut.,  tapi terkendala cuaca buruk.  Dari dinas perindustrian, kami mendapat pelatihan pembuatan mie dan bakso.  Karena terkendala cuaca, akhirnya kami focus pembuatan mie kering.  Kami mulai dari tahun 2013 sampai sekarang membuat mie rumput laut.  Produk lain yang kami buat adalah, bakso, stik, dodol, dan sebagainya.” 

Keinginan mereka untuk dapat memproduksi berbagai makanan olahan dari rumput laut begitu menggebu, tapi :
“kami itu terkendala cuaca, kami butuhkan oven pengering, selama ini kami selalu minta bantuan dana Respek, namun itu tidak banyak membantu. Beberapa tim dari dinas dan kelompok pemberdayaan telah pernah berkunjung dan sangat respek dengan kegiatan kami.”
Walaupun kegiatannya masih dilakukan secara sederhana, namun kelompok Kakak Ros tersebut telah sering mengikuti pameran di luar Kabupaten Kepulauan Yapen, bahkan di luar Papua, mewakili Kabupaten Kepulauan Yapen.  Sayangnya sampai sekarang perhatian pemerintah daerah untuk mensupport kegiatan mereka dirasa masih kurang.  Mereka masih menggunakan peralatan produksi yang sederhana, sehingga sering terkendala cuaca buruk.
Meskipun mengalami kendala keterbatasan modal dan peralatan produksi, namun Kakak Ros dan teman-teman masih tetap semangat melanjutkan kegiatannya.  Kelompok yang sebenarnya masuk dalam binaan PNPM Mandiri pedesaan ini mampu menggalang perempuan-perempuan Kampung Sarawandori untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki kampung mereka.
Rumput laut yang diolah oleh kelompok Kakak Ros, memperoleh rumput laut dengan membeli langsung dari petani, selain dari rumput laut milik kelompok. Karena makin sibuk memenuhi permintaan produk olahan rumput laut, akhirnya mereka hanya membeli rumput laut dari petani, lahan rumput laut milik kelompok tidak lagi terurus, semua focus pada pemenuhan permintaan.

Tanpa terasa, begitu asyiknya mendengar cerita pengalaman perjalanan panjang kakak Ros, hari telah mulai gelap, sehingga saya bergegas meninggalkan mereka.  Dari atas tepi jalan di atas bukit, saya sekali lagi memandang kearah bawah sana, dibalik remang-remang senja masih terdengar suara-suara dari kampong kecil nan bersahaja itu.  Siapa sangka di balik keindahan dan kesederhanaan kampong Sarawandori, tengah tumbuh sebuah semangat dari seorang perempuan kampong.  Sesuatu yang mungkin langka ditemui pada kampung-kampung di Papua. Selamat berjuang Kakak Ros Karubaba!

Selasa, 25 Februari 2014



TERPINGGIRKANNYA ARSITEKTUR LOKAL OLEH
KEDATANGAN SUKU PENDATANG DI  KOTA SERUI PAPUA

Udsy Ahmad
Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen Papua

Abstrak


Identitas suatu kota dapat dikenali bukan hanya dari pakaian adat, lagu daerah ataupun tarian yang dimiliki.  Saat pertama kali memasuki suatu kota, bentuk maupun fasade bangunan akan memperlihatkan karakter dan budaya kota tersebut.  Kota Serui, sebuah kota kecil di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, dihuni bukan hanya oleh orang Papua sebagai penduduk asli, tapi juga dari berbagai suku bangsa dari luar Papua.  Percampuran berbagai asal suku tersebut mempengaruhi wajah kota.  Kota Serui lebih tampak seperti kota-kota lain yang sedang membangun.  Bangunan-bangunan baru bermunculan dengan arsitektur modern. Di bagian lain kota terdapat sebuah komunitas suku pendatang yang sangat menonjol, dapat dikenali dengan mudah lingkungannya hanya dengan melihat arsitektur bangunan ibadahnya.  Sementara lingkungan yang masih mempertahankan ciri budaya setempat  bertahan di pinggiran kota. Kenyataan itulah yang menjadi fokus penelitian, dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa proses pembangunan di Kota Serui membuka peluang masuknya pendatang dengan latar belakang budaya yang berbeda, dan kebebasan mengekspresikan budayanya.  Keterbukaan masyarakat dan pemerintah kota bisa membawa kemajuan bagi pembangunan kota, tapi di sisi lain, pemerintah kurang memberi perhatian pada upaya pelestarian identitas lokal dalam pembangunan fisik kota.  Sehingga identitas lokal penduduk asli Papua seakan terpinggirkan dengan kehadiran suku pendatang dari luar Papua. Penelitian sampai pada kesimpulan bahwa harus ada peran pemerintah kota dalam mempertahankan dan menghidupkan kembali identitas lokal yang dimiliki Kota Serui. 

Kata kunci : Identitas lokal, Papua, suku pendatang


       I.    Pendahuluan

Setiap suku bangsa di dunia, termasuk yang ada di Indonesia memiliki arsitektur lokal, yang menjadi salah satu ciri dan keunikan suku tersebut.  Memasuki suatu wilayah, kota atau perkampungan,  ciri kesukuan penduduknya tergambar dari bentuk arsitekturnya, terutama bangunan.   Namun ada pula beberapa daerah yang nyaris tak dapat dikenali lagi arsitektur lokalnya, hanya ada gapura yang menjadi pintu gerbang berhiaskan symbol-simbol dan ornament-ornamen tradisional yang masih bisa dijadikan acuan mengenali suku yang dominan mendiami daerah itu.
Daerah-daerah yang sedang membangun mau tidak mau harus membuka ruang interaksi dengan daerah lain, suku lain bahkan dengan Negara lain.  Interaksi membuka peluang terjadinya transformasi budaya, entah itu akan menyebabkan akulturasi, ada yang mendominasi atau bahkan meminggirkan ciri lokalitas setempat.  Yang paling mudah terlihat sebagai hasil interaksi tersebut adalah bentuk bangunan.
Akan halnya di Papua, proses akulturasi telah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda, dan berlanjut pasca penyatuan dengan NKRI sampai sekarang. Beberapa kota di Papua tercipta menjadi miniature nusantara.  Demikian halnya Serui, salah satu kota kecil di Papua. Kehadiran berbagai suku lain, dengan mudah dapat dikenali, dan tergambar dari arsitektur bangunan-bangunan yang ada, rumah tinggal, rumah ibadah dan bangunan kantor, berdampingan dengan bangunan-bangunan berarsitektur modern. Arsitektur lokalnya sulit dikenali, kecuali bangunan tugu perjuangan, dan ornament yang menghiasi pagar, gapura dan dinding beberapa bangunan.  Padahal bila ditelaah, Serui juga memiliki cirri arsitektur  yang didasari nilai-nilai budaya dan kearifan local, sebagaimana lokasi lain di Papua. 
Tidak ada yang salah dengan kehadiran berbagai suku pendatang di Serui yang masing-masing berusaha menonjolkan diri lewat arsitektur asal sukunya.  Namun bagaimana dengan arsitektur khas local yang dimiliki Serui, akankah dibiarkan memudar seiring dengan gerak pembangunan daerahnya, atau justru akan mengangkat kembali nilai-nilai lokalitas yang dimiliki dalam pembangunan kotanya.

      II.    Tinjauan Literatur dan Konsep

Menurut Juwono dalam Antariksa (2009), identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya.  Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai daya tarik serta keunggulan kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal (Eade dalam Antariksa, 2009).  Kekuatan dari kearifan local tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan.  Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global (Antariksa, 2009).
Identitas local menjadi potensi local yang dimiliki oleh suatu kota atau tempat. Potensi yang tidak terbatas pada arsitektur tradisional saja. Dalam masyarakat yang heterogen, potensi local mencakup seluruh kekayaan yang memiliki kekhasan, keunikan, kesejarahan ataupun peran sebagai penanda di kawasan, kota dan daerahnya (Rusmanto, 2007).
“Arsitektur” adalah salah satu wujud hasil karya seni budaya. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan suatu bangsa dengan arsitektur, tergambar pada telaahan masing –masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur – unsur ”konsep”, cara “membangun” dan “wujud nyata” dari “bangunan” sebagai suatu lingkungan buatan dalam rekayasa lingkungan sekitarnya. Telaahan “kebudayaan” selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran “idea”, perbuatan, sikap dan perilaku “behavior” serta hasil karya seni “artefak”.
Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.          Arsitektur sebagai unsur kebudayaan, laksana salah satu bentuk bahasa “non-verbal” manusia yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi manusia secara “non verbal” yang mempunyai nuansa sastrawi. Tidak jauh berbeda dengan sastra verbal yang metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana metafor keindahan, dari sudut pandang itu akan dikenali karakteristiknya (Syahriartato, 2009).
Arsitektur tradisional (Susanto dalam Sahroni, 2012) sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum. Arsitektur tradisional kemudian berkembang sebagai arsitektur vernakuler, yang tetap mempertahankan karakter inti yang diturunkan dari generasi ke generasi yang menjadikannya sebagai karakter kuat akan suatu tempat tertentu dan akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan masyarakat tersebut. Frick (1996) menyatakan hal yang sama bahwa arsitektur tradisional dapat diartikan sebagai suatu arsitektur yang diciptakan/dilakukan dengan cara yang senantiasa sama sejak beberapa generasi.  Arsitektur tradisional memperlihatkan hubungan manusia dengan sejarahnya dalam bidang bangunan dan pemukiman.
Salah satu suku di Indonesia yang terkenal memiliki gaya arsitektur tradisional yang khas, adalah Papua.  Beberapa bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros tobati, rumah tradisional arfak, Rumsram di Biak dan sekitarnya dan rumah tradisional harit di maybrat imian sawiat Kabupaten Sorong Selatan (Sagrim, 2009).
            Lebih lanjut Sagrim menyatakan bahwa, setiap suku di Papua mempunyai aliran atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat (terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Perkembangan konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampingkan gaya arsitektur tradisional lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga arsitektur tradisional menjadi terlupakan adalah:
  1.      pengaruh aliran arsitektur luar dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen.
  2.      keinginan pemilik bangunan rumah yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain.
  3.      pemerintah setempat tidak fasih dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan lokal, sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan.
  4.       tenaga perancang dan ahli-ahli arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur lokal tetap tersembunyi/hanya dalam bayang-bayang tradisional saja.
    III.    Metode Penelitian
           Penelitian ini menggunakan metode deskriptif (descriptive research), dengan memberikan gambaran dari fenomena yang terjadi di Kota Serui dalam kaitannya dengan arsitektur local.  Karena mengungkapkan fenomena yang terjadi, maka dapat pula disebut menggunakan metode fenomenologi.  Data diperoleh dari pengalaman dan pengamatan peneliti selama tinggal di lokasi penelitian.  Dilanjutkan dengan mengkaji literature yang berkaitan dengan fokus dan lokasi penelitian.
Penelitian ini masih berupa deskripsi fenomena yang terjadi, olehnya masih dibutuhkan teknik penelitian yang lebih mendalam mengenai kondisi arsitektur lokal di Kota Serui Papua.

     IV.    Hasil dan Pembahasan
1.   Gambaran Wilayah Kota Serui
          Kota Serui merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Kota ini tepatnya berada dalam wilayah Distrik Yapen Selatan.  Wilayah Kota Serui meliputi empat Kelurahan di Distrik Yapen Selatan, yaitu Kelurahan Anotaurei, Serui Kota, Serui Jaya dan Tarau.  Tapi penggunaan istilah Serui lebih sering digunakan untuk menyebut wilayah Distrik Yapen Selatan, bahkan kadang digunakan untuk menyebut wilayah Kabupaten Yapen.  Kota Serui terletak di bagian pesisir Pulau Yapen, berhadapan dengan Selat Saireri.
           Baik penduduk asli Papua dan pendatang (non-Papua), pola pemukiman-nya mengikuti struktur ekonomi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.  Adapun struktur ekonomi di Distrik Yapen Selatan adalah pedagang, perkebunan, pertanian tanaman pangan, dan nelayan tangkap.  Untuk mata pencaharian yang bertumpu pada perdagangan, dan pertanian tanaman pangan, pemukiman warga umumnya berada di daratan.  Adapun kampung/kelurahan yang masuk kategori pemukiman yang berada di daratan adalah Mantembu, Mariadei, Banawa, Warari, Turu, Pasir Putih, Yapan, Famboaman, Anotaurei, Tarau, Serui Kota, dan Serui Jaya.


          Masyarakat yang mata pencaharian pokoknya sebagai nelayan tangkap, pemukimannya berada di pesisir laut.  Ini dengan mudah dilihat pada Kampung Serui Laut dan Pasir Hitam.  Selanjutnya perekat sosial (social cohesion) masyarakat adalah ikatan kekerabatan atau marga.  Kohesi sosial dalam bentuk ikatan kekerabatan atau marga dapat dilihat dari aktivitas warga  berdasarkan etnik masing-masing. Ikatan sosial inilah yang kemudian membentuk jaringan sosial dalam konteksnya.
Tabel 1
Jenis Pekerjaan Penduduk di Distrik Yapen Selatan
No
Jenis Mata Pencaharian
% Jumlah
1
Petani
3.54
2
Nelayan
1.8
3
Pedagang
36.49
4
Pengrajin
0.47
5
Peternak
0.54
6
Pegawai Negeri Sipil
17.91
7
Swasta
7.07
8
Pensiunan
4.3
9
Lain-lain
27.89

 Total
100.01

Sumber: RTRW Kab. Kepulauan Yapen, 2011

          Untuk aspek ekonomi, secara umum jenis pekerjaan yang tersedia, meliputi: petani, nelayan, pedagang, pengrajin, peternak, PNS, swasta, pensiunan, dan lain-lain. Dari jenis pekerjaan tersebut, mata pencaharian sebagai pedagang merupakan lapangan usaha mayoritas yang diusahakan oleh warga yaitu 36,49%, disusul lain-lain (seperti: ojek, kuli pelabuhan, buruh bangunan) sebanyak 6.442 orang (27,89%) dan PNS sebanyak 17,91%.

2.   Penduduk Kota Serui
          Penduduk yang bermukim di Serui terdiri dari penduduk asli Papua dan penduduk pendatang.  Penduduk asli Papua di Serui meliputi suku Onate, yang merupakan suku terbesar yang mendiami kepulauan Yapen, dan beberapa suku Papua lainnya yang berasal dari wilayah sekitarnya.  Yang merupakan penduduk pendatang adalah penduduk dari suku lain di Indonesia di luar Papua. Antara lain suku pendatang tersebut adalah, Bugis, Makassar, Buton, Toraja, Manado, Jawa, Sunda, Minang, Batak, Ambon dan Kei.  Bahkan jauh sebelum kehadiran suku-suku pendatang tersebut, pedagang dari Tiongkok telah lebih dulu tiba di Kepulauan Yapen dan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan penduduknya.  Penduduk keturunan hasil perkawinan dari orang Tiongkok dan penduduk asli tersebut sampai sekarang dapat dikenali dengan mudah, mereka dikenal dengan sebutan “Perancis”, dengan ciri khas fisiknya berupa kulit yang cenderung lebih terang, walaupun berambut keriting. Agama mayoritas yang dianut penduduk  Kota Serui adalah Kristen Protestan, sesuai dengan agama yang dibawa oleh para misionaris Protestan dari Eropa, termasuk dari Negara Belanda yang pernah menjajah wilayah Papua bagian Utara. 

3.   Sejarah Arsitektur Tradisional
        Perkembangan arsitektur tradisional di Kabupaten Kepulauan Yapen, khususnya di Kota Serui,  belum diketahui secara pasti karena kurangnya literature yang membahas hal tersebut.  Berbicara tentang Papua, orang di luar Papua lebih mengenal Suku-suku besar yang mendiami daratan besar Pulau papua, seperti, Sorong, Manokwari, Nabire, Wamena, Dani, dan Asmat.  Pengetahuan tersebut termasuk budaya bermukim dan seni arsitektur yang dimiliki. Hal tersebut dimungkinkan oleh masih utuhnya keunikan arsitektur pemukiman  suku-suku tersebut.  Misalnya yang sangat dikenal, adalah pemukiman Suku Dani dengan bentuk bangunan honai-nya, Suku Asmat yang dikenal dengan seni ukirannya yang sangat kreatif. 
        Keunikan dan kekhasan suku-suku yang ada di Papua, tidak lepas dari kondisi alam yang dimilikinya.  Wilayah alam Papua dapat dikelompokkan dalam 4 zona ekologis, yaitu :
a.     Zona rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai; meliputi daerah Asmat, jagai, Marind-anim, Mimika dan Waropen.
b.    Zona dataran tinggi; meliputi Suku Dani, Ngalun dan Ekari/Mee.
c.    Zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil; melliputi daerah Sentani, Nimboran, Ayamaru dan Muyu
d.    Zona dataran rendah dan pesisir; meliputi daerah Sorong sampai Nabire, Biak dan Yapen.
Diantara keempat tipologi zona itu, penduduk yang mendiami zona dataran rendah dan pesisir lebih dulu mengenal dan menjalin komunikasi dengan masyarakat luar. Interaksi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.  Keterbukaan itu sudah dimulai sejak abad ke-7 melalui pedagang Persia dan India, dan pada abad ke-9 dengan Cina. Pengaruh Islam masuk pada abad ke-15 setelah Papua menjadi wilayah kekuasaan politik Kesultanan Tidore.  Bersamaan dengan itu, bangsa barat mulai menyentuh tanah Papua melalui misi penyebaran Agama Kristen. Arus migrasi suku lain dari wilayah Indonesia mulai masuk papua pada tahun 1966, saat pemerintah mengirimkan 164 transmigran asal Jawa ke Merauke.  Bersamaan dengan  itu, juga datang para pedagang dari Bugis, disusul suku-suku lain yang lebih maju dalam bidang pendidikan dan berproduksi.
Kenyataan di atas tentunya turut mewarnai bentuk arsitektur pemukiman di Kota Serui.   Letak Kepulauan Yapen yang berdekatan dengan Pulau Biak, memungkinkan adanya kemiripan bentuk arsitektur bangunan masyarakat pesisir Yapen dan Biak.   
Kedatangan pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua termasuk Kota Serui, dengan menerapkan aliran arsitektur kolonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan sebagai rumah hunian masyarakat. Di kabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1950, secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh orang Maybrat Imian Sawiat sebagai bangunan terhormat seperti rumah sekolah dan gereja, dengan menerapkan larangan-larangan untuk tidak mengembangkan atau membangu bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat orang maybrat imian sawiat kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka. Dari tahun 1962, pemerintahan Indonesia yang telah masuk kewilayah Papua, juga menerapkan bangunan yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Di kota Serui kini aliran arsitektur dari daerah lain yang mendominasi.

4.   Kebijakan Penataan Ruang Kota Serui
         Penataan ruang Kota Serui selama ini tidak mengakomodir upaya pelestarian atau upaya mengangkat kembali arsitektur lokal.  Bahkan yang pernah terjadi di jaman orde baru di  salah satu perkampungan nelayan, pemukiman penduduk di atas air dibongkar paksa.  Mereka kemudian diarahkan untuk menghuni pemukiman-pemukiman sosial yang dibangun seragam oleh pemerintah. Alasannya semata mengejar kepentingan ekonomi, penduduk kampung diberi bibit kakao dan kopi untuk ditanam di tanah ulayat mereka, penduduk yang sebelumnya hidup sebagai nelayan dan peramu sagu.  Sekarang penduduk kampung itu kembali menjadi nelayan, memulai lagi kehidupan pemukiman di atas air.
        Sementara itu, wajah Kota Serui tidak beda dengan kota-kota niaga lainnya di Indonesia, barisan ruko menghiasi beberapa jalan utama di kota itu, dan pemiliknya adalah suku-suku lain yang senang berdagang.  Dengan mudah di setiap jalan, gang dan lorong ditemui kios-kios, dan pemiliknya bukan orang Papua.
        Gereja-gereja di Serui dibangun berarsitektur eropa, sebagaimana yang pernah diperkenalkan oleh Bangsa Belanda. Di pemukiman yang didominasi orang-orang Toraja, gereja dibangun menyerupai “Tongkonan” di Tanah Toraja. Bagian atap masjid dibuat menyerupai atap bangunan rumah Jawa.  Kantor-kantor dibangun menyerupai rumah tinggal berbentuk kotak, atau seperti perkantoran modern di kota-kota besar.

5.   Upaya Menghidupkan Kembali Karakter Lokal
Semangat pembangunan di Serui yang ditunjukkan adalah semangat egoisme membangun, egoisme kesukuan. Masing-masing individu lebih memikirkan untuk menonjolkan kebesaran daerah asalnya atau minatnya terhadap arsitektur asing.
Persoalannya bukanlah terletak pada kurangnya tenaga-tenaga arsitektur Papua, tetapi keinginan daripada pemilik yang menginginkan gaya arsitektur lain.
Bagi orang Papua, termasuk orang Serui, rumah tinggal harus besar terutama pada bagian dapur sebab para tetangga dan kaum kerabat suka duduk bercerita sambil makan di dapur, anak-anak tetanggapun suka datang berkumpul untuk makan papeda. Di halaman dilengkapi dengan para-para, untuk tempat duduk-sambil makan atau bercengkerama setelah selesai makan. Rumah adalah tempat berkumpul dan bercengkerama dengan kerabat.  Bagian belakang rumah-rumah di pesisir pantai digunakan untuk tambatan perahu.
Bangunan arsitektur Serui dikembangkan oleh para orang-orang terdahulu memanfaatkan bahan bangunan dari alam disekitarnya.  Ketahanannya teruji menghadapi kondisi alam Serui.  Sayangnya bentuk arsitektur tradisional tersebut hanya dapat ditemui di daerah pinggiran pesisir pantai, itupun mulai disisipi bangunan dengan bentuk modern.
Tidak ada regulasi yang dibuat pemda untuk menjaga kelestarian arsitektur tradisional Papua di Serui. Pernah sekali Pemda mendesain perkampungan nelayan dengan menonjolkan arsitektur tradisional tersebut dalam kebijakan yang disebut Respek (rencana strategis pembangunan kampung), tapi itu tidak terlaksana. Kantor Pemda sekarang memiliki pagar dengan ornament tifa.  Gapura-gapura pelabuhan dan Bandar udara juga menggunakan ornament khas Papua. 
Pemda Kepulauan Yapen harus bisa melihat kondisi tergerusnya karakter lokal yang dulu dimiliki Kota Serui.  Langkah yang harus diambil adalah mengharuskan setiap kegiatan pembangunan untuk mengakomodir arsitektur lokal atau menonjolkan karakter lokal dalam setiap perencanaan pembangunan kota. Pembangunan  harus berdasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada atau pernah ada di Serui.

     V.    Kesimpulan

-       Kota Serui terletak di wilayah pesisir Kepulauan Yapen, yang memungkinkan terjadinya interaksi dan masuknya budaya dari luar.
-       Migrasi telah lama berlangsung di Kota Serui,mereka datang dari berbagai suku yang ada di Indonesia. Para pendatang itu membawa serta pula budaya suku mereka termasuk seni bangunannya.
-       Arsitektur lokal Serui hanya dapat ditemui di pesisir wilayah kota.  Penduduk kota lebih senang menggunakan arsitektur modern
-       Pemda Kabupaten Kepulauan Yapen harus membuat regulasi untuk menghidupkan kembali dan melestarikan  nilai-nilai kearifan lokal dalam pembangunan kota Serui.


DaftarPustaka

Antariksa. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan.  
Frick, Heinz. 1996. The effect of urban pattern on ecosystem function. International Regional Science Review, Vol. 28, (2).
Mampioper, Dominggus A.Pendekatan Proyek Seragamkan Permukiman Penduduk Asli Papua. Dari: http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080227124620
Roesmanto, Totok. Pemanfaatan Potensi Lokal Dalam Arsitektur Indonesia (Pidato Pengukuhan).  Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2007.
Sagrim, Hamah. Arsitektur Tradisional Dalam Perkembangan Pembangunan
Dari: http://juanfranklinsagrim.blogspot.com/2009/01/arsitektur-tradisional-dalam.html
Sahroni, Ade. Arsitektur Vernakular Indonesia: Peran, Fungsi, Dan Pelestarian Di Dalam Masyarakat. Dari: http://iaaipusat.wordpress.com/2012/03/19/arsitektur-vernakular-indonesia-peran-fungsi-dan-pelestarian-di-dalam-masyarakat/
Tato, Syahriar. Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warisan Budaya Lokal Indonesia. Dari: http://syahriartato.wordpress.com/2009/10/09/arsitektur-tradisional-sulawesi-selatan-pusaka-warisan-budaya-lokal-indonesia/
Yeimo, Yunus Emigita. Politik Arsitektur Dan Ruang Kota Di Papua. Dari: http://deateytomawin.wordpress.com/2009/03/18/politik-arsitektur-dan-ruang-kota-di-papua/