Minggu, 05 Mei 2013



Menjadi Pengajar di Tanah Papua
Hari Pendidikan Nasional baru saja kita peringati, walau mungkin sudah banyak yang lupa.  Saya bukan seorang pendidik atau seseorang yang punya andil dalam dunia pendidikan.  Tapi saya pernah merasakan suka duka dunia itu.  Basic pendidikan saya bukan kependidikan, bahkan kuliahkupun sekarang ini tidak ada hubungan dengan dunia pendidikan, tapi sekali lagi saya pernah merasakannya.

Menjadi Guru Mata Pelajaran Teknik
Sekitar lima tahun lalu, seperti  tahun-tahun sebelumnya, saya dikontrak sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang perencanaan tata ruang.  Kebetulan juga waktu itu saya aktif di kegiatan BKPRMI .  Hampir lupa menyebutkan lokasinya,  berlokasi di  Kota Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua.  Beberapa teman sesama anggota BKPRMI berprofesi sebagai guru.  Salah satu dari mereka menawarkan pada saya untuk mengajar di sebuah SMK Teknologi yang masih baru, sebelumnya SMK Akuntansi dan Penjualan.  Sekolah itu  membutuhkan tenaga pengajar di bidang teknik gambar dan teknik konstruksi kayu.   Rupanya mereka belum berhasil mendapatkan tenaga pengajar yang benar-benar sesuai dengan jurusan yang ada.  Tapi saat ditawarkan ke saya, tanpa pikir panjang dan karena saya memang suka melakukan hal-hal baru, saya terima tawaran itu (walaupun setelah beberapa saat kemudian saya kebingungan sendiri, bagaimana nanti saya mengajar, kan saya tidak ada basic kependidikan, aduh...tapi tanggung, saya harus mencoba, pasti bisa!) 

Ternyata tenaga pengajar mata pelajaran teknik yang ada hanya saya.  Sebenarnya tercatat dua nama guru teknik, tapi yang satunya itu hanya sekedar nama saja, karena orangnya tidak pernah muncul.  Dan jadilah saya satu-satunya guru teknik di sekolah itu.  Bayangkan, saya harus mengajar di dua kelas (tahun ajaran pertama untuk jurusan teknik baru ada dua kelas : jurusan teknik gambar dan jurusan teknik konstruksi kayu) dengan beberapa mata pelajaran dasar teknik.  Saya benar-benar kewalahan, tapi situasi itu tidak membuatku menyerah.  Untunglah waktu kuliah S1 kan belajar dasar-dasar teknik, tidak jauh beda dengan pelajaran SMK teknologi.  Selebihnya, untuk mata pelajaran yang tidak pernah kudapatkan, saya harus kerja keras, benar-benar sebuah tantangan (tapi saya senang).  Bagiku ini kesempatan belajar hal-hal baru.  Saat itu strategi yang saya tempuh adalah dengan belajar (mau belajar teknik gambar dan perkayuan), tentunya saya aktif belajar pada teman-teman yang basicnya teknik arsitektur dan sipil, kebetulan juga saya sedikit bisa menjalankan program Autocad.  Benar-benar perjuangan rasanya waktu itu, saya harus berusaha mengatur waktu dengan baik, karena saya juga harus menyelesaikan pekerjaan lain.  

Pekerjaan Yang Melelahkan
Sebenarnya menjadi pengajar disekolah baru itu, cukup melelahkan bagi saya, apalagi saya memegang semua mata pelajaran jurusan.  Saya sudah mencoba menawarkan kepada temen-teman seprofesi untuk mau mengajar di SMK itu, tapi sayang mereka kurang tertarik dengan  honor yang kecil.  Bagi mereka, tidak sepadan antara pekerjaan dan honor yang bisa diterima.  Saya maklum, teman-teman terbiasa dengan proyek-proyek yang nilainya besar, sehingga bagi mereka mengajar di SMK itu nilainya kecil.  Kadangkala disaat lelah ingin rasanya saya menangis, tapi saya juga tidak tega untuk berhenti mengajar disekolah itu, saya merasa sangat dibutuhkan oleh sekolah itu, rasanya masih syukur ada saya yang mau mengajar.  Sesekali saya teringat masa-masa sekolah dulu, teringat perjuangan guru-guruku dulu, walau mungkin lingkungannya beda.  Menjadi tenaga pengajar di Papua sangat beda kondisinya dengan wilayah di luar Papua. Butuh kesabaran tinggi menjadi pengajar di sekolah Papua, sulit menjelaskan disini seperti apa kesulitan yang harus kami hadapi, jelasnya sangat beda dengan di luar Papua.   Tapi sekali lagi saya tidak mau menyerah, saya menjalin komunikasi yang baik dengan guru-guru mata pelajaran lainnya, saya banyak belajar bagaimana menjadi pengajar dari rekan-rekan guru itu, mereka juga mendukungku dan selalu menyemangati.

Yayasan Organisasi Muslim
SMK tempatku mengajar itu milik sebuah yayasan muslim yang cukup besar,  nama sekolahnya saja menggunakan nama organisasi itu.  Meskipun menggunakan atribut muslim, tapi hampir 80 % siswanya non muslim, dan mayoritas adalah anak-anak asli Papua.  Gedung sekolah masih menumpang milik SMP pada yayasan yang sama,  jadwal sekolahnyapun masuk siang.  Sebagian besar tenaga pengajar saat itu masih berstatus honorer.  Luar biasa dedikasi mereka terhadap pendidikan, tidak sebanding dengan kecilnya honor setiap bulan yang mereka bisa terima, itupun kadang telat, tergantung kondisi keuangan sekolah.  Untunglah guru-guru tersebut memiliki pekerjaan utama yang lain, ada yang PNS di Instansi Pemerintah, karyawan perusahaan swasta, dan beberapa juga masih guru honorer di sekolah lain. 

Sarana pendukung belajar  dan mengajar di sekolah itu minim.  Di tahun pertama, komputer untuk praktik siswa saja tidak ada, sehingga mereka hanya bisa belajar menggambar manual, itupun dengan perlengkapan seadanya, karena sekolah hanya memiliki tiga meja gambar (itupun sumbangan donatur).  Barulah pada tahun kedua sekolah kami mendapatkan bantuan beberapa unit komputer.  Agar cukup digunakan praktik siswa, ruang praktik komputer masih disatukan dengan milik SMP  se-yayasan itu, kebetulan sebelumnya SMP itu sudah lebih dahulu mendapatkan bantuan perangkat komputer.

Anak-anak Papua Dari Kampung Yang Jauh
Anak-anak asli Papua yang belajar di sekolah-ku itu sebagian besar berasal dari kampung-kampung yang berada di Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen, termasuk yang berasal dari Kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Waropen, bahkan dari kampung-kampung kecil yang terpencil di pulau. Sering terjadi beberapa siswa tidak masuk sekolah hingga beberapa hari, bahkan ada yang muncul di sekolah hanya beberapa kali (pada saat pendaftaran, ujian semester dan saat penerimaan raport).   Untuk masalah satu ini sudah umum terjadi disekolah-sekolah swasta yang ada di   wilayah itu, bahkan mungkin di Papua pada umumnya.  Biasanya setelah libur akhir pekan pertama di setiap semester, anak-anak itu mulai jarang masuk sekolah, hingga akhirnya tidak pernah muncul di sekolah sampai waktu mendekati jadwal ujian semester.   Selain jarak kampung mereka yang jauh dari kota, penyebab yang lain adalah kondisi keluarga dan lingkungan mereka di kampung.  Mereka yang sebagian besar adalah anak-anak petani dan nelayan kecil, harus membantu keluarga mencari nafkah.  Mungkin juga karena motivasi belajar yang kurang dari lingkungan tempat tinggal mereka di kampung.

Sungguh, hal itu memusingkan guru-guru, bagaimana tidak, setelah lama tidak kesekolah (tanpa laporan sakit atau ijin) tiba-tiba muncul di saat ujian semester.  Terang saja nilai raportnya jelek-jelek.  Dilema bagi kami para staf pengajar, saat anak-anak itu diputuskan tidak naik ke kelas berikutnya,  giliran orang tuanya datang dari kampung.  Ada yang datang meminta dengan memelas (minta anaknya bisa naik kelas),  ada pula yang datang setengah mengamuk, marah.  Diberi pengertian, malah berargumen panjang sambil berjanji akan mengarahkan anaknya untuk belajar lebih rajin dan tekun (tahun berikutnya tetap saja berulang hal yang sama).  Pokoknya berbagai usaha para orang tua itu agar anaknya bisa naik kelas. Yah, dengan berbagai pertimbangan dewan guru akhirnya memutuskan menaikkan beberapa siswa, kecuali mereka yang benar-benar tidak bisa ditolerir lagi.   

Kondisi keterlibatan orang tua siswa hanya pada saat-saat mereka menginginkan anaknya naik kelas itu, ternyata bukan hanya di tingkatan sekolah menengah, bahkan sudah dimulai dari sejak sekolah dasar.  (motivasi menyekolahkan anak bukan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, tapi lebih kepada keinginan mendapatkan gelar atau ijazah).  Salah satu indikasi yang biasa saya temui adalah beberapa siswa di sekolah kami itu ketahuan tidak fasih menulis, membaca dan menghitung hingga ada pula yang tidak bisa sama sekali.  Itu tugas berat bagi kami sebagai pendidik,  yang bisa kami lakukan adalah memberi bimbingan khusus pada mereka yang demikian, karena tidak mungkin mengeluarkannya dari sekolah (wah, bisa timbul masalah baru bila dikembalikan ke keluarganya). 

Giat Mencari Tenaga Pengajar Baru
Satu semester yang berat itu berhasil saya lalui, walau banyak kekurangan, namun saya senang bisa ikut belajar banyak.  Semester berikutnya saya berkenalan dengan seorang teman yang berasal dari Jayapura, dia ikut suaminya yang ditugaskan di Serui.  Saat kutawarkan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolahku, dia bersedia, akhirnya saya ada teman yang bisa meringankan tugasku.  Dia juga tidak punya basic kependidikan, namun semuanya bisa teratasi dengan kerjasama yang baik dengan kepala sekolah dan guru-guru yang lain.

Semester berikutnya, tepatnya di tahun kedua saya mengajar di sekolah itu, saya bertemu lagi dengan seorang teman yang sama-sama bekerja sebagai konsultan perencanaan teknik.  Karena orang tuanya adalah juga pengurus organisasi muslim yang sama dengan yayasan tempatku mengajar itu, saat kutawari  jadi tenaga pengajar, dia bersedia.
Bertambahnya tenaga pengajar jurusan teknik di SMK-ku itu, membawa kemajuan bagi sekolah.  Kami bertiga dan tentunya bersama kepala sekolah dan guru-guru yang lain saling bahu membahu, bekerjasama memajukan sekolah, walau dengan segala keterbatasan yang ada.  Meningkatnya prestasi belajar siswa adalah obat dari segala lelah kami para guru. (Bersambung pada tulisan yang lain).

Kupersembahkan tulisan ini buat teman-teman guru, kepala sekolah dan siswa-siswaku yang telah banyak memotivasiku untuk selalu belajar.